Minggu, 27 Maret 2011

laporan perekonomian tahun 2009



Memperkuat Ketahanan,
Mendorong Momentum
Pemulihan Ekonomi Nasional

Kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian Indonesia pada sejumlah tantangan yang tidak ringan selama tahun 2009. Tantangan itu cukup mengemuka pada awal tahun 2009, sebagai akibat masih kuatnya dampak krisis perekonomian global yang mencapai puncaknya pada triwulan IV 2008. Ketidakpastian yang terkait dengan sampai seberapa dalam kontraksi global dan sampai seberapa cepat pemulihan ekonomi global akan terjadi, bukan saja menyebabkan tingginya risiko di sektor keuangan, tetapi juga berdampak negatif pada kegiatan ekonomi di sektor riil domestik. Kondisi tersebut mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada triwulan I 2009 masih mengalami tekanan berat, sementara pertumbuhan ekonomi juga dalam tren menurun akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Kondisi tersebut menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta berpotensi menurunkan berbagai kinerja positif yang telah dicapai dalam beberapa tahun sebelumnya.

Menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah menempuh sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mencegah turunnya pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam melalui kebijakan stimulus moneter dan fiskal. Berbagai kebijakan yang ditempuh pada tahun 2009 pada dasarnya masih merupakan lanjutan dari serangkaian kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah pada triwulan IV 2008. Serangkaian kebijakan yang ditempuh tersebut tidak saja berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, tetapi juga memperkuat daya tahan perekonomian domestik, sehingga kegiatan ekonomi dapat kembali membaik sejak triwulan II 2009. Keberhasilan tersebut juga tidak terlepas dari kebijakan yang secara sistematis telah ditempuh untuk memperkuat fundamental ekonomi dan keuangan pascakrisis 1997/1998. Secara umum, perekonomian Indonesia tahun 2009 telah mampu melewati tahun penuh tantangan tersebut dengan capaian yang cukup baik. Meskipun melambat dibandingkan dengan tahun 2008, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 dapat mencapai 4,5%, tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar ditengah kontraksi perekonomian global dapat dihindari, karena struktur ekonomi yang banyak didorong oleh permintaan domestik. Setelah mengalami tekanan berat pada triwulan I 2009, stabilitas pasar keuangan dan makroekonomi juga semakin membaik sampai dengan akhir tahun 2009. Hal itu tercermin pada berbagai indicator di sektor keuangan seperti Currency Default Swap (CDS), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), imbal hasil (yield) SUN, dan nilai tukar yang membaik. Sementara itu, inflasi juga tercatat rendah 2,78%, terendah dalam satu decade terakhir.


Berbagai capaian positif yang mampu diraih perekonomian Indonesia pada 2009 telah semakin menguatkan optimisme akan berlanjutnya proses perbaikan kondisi perekonomian ke depan. Optimisme tersebut juga didukung oleh semakin membaiknya prospek pemulihan ekonomi global. Meskipun demikian, dinamika perekonomian ke depan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat akselerasi perbaikan ekonomi. Dari sisi eksternal, tantangan terutama berkaitan dengan dampak dari strategi mengakhiri langkah kebijakan yang ditempuh di masa krisis (exit strategy), yang antara lain berupa pelonggaran likuiditas dan ekspansi fiskal di negara maju. Tantangan eksternal juga berhubungan dengan terjadinya kecenderungan polarisasi perdagangan dunia, serta masih berlangsungnya ketidakseimbangan dalam kinerja perekonomian global. Dari sisi domestik, tantangan berkaitan dengan beberapa permasalahan yang masih dapat mengganggu efektivitas kebijakan moneter, seperti masih cukup besarnya ekses likuiditas perbankan, masih besarnya peranan investasi portofolio dalam struktur aliran modal masuk, masih munculnya potensi penggelembungan harga aset di pasar keuangan, masih dangkalnya pasar keuangan, dan berbagai permasalahan struktural di sektor riil.


Ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat, sementara stabilitas harga tetap terjaga. Prospek pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh semakin pulihnya kinerja ekspor dan mulai meningkatnya kegiatan investasi. Membaiknya ekspor sejalan dengan perbaikan prospek perekonomian global termasuk negara-negara maju. Meningkatnya permintaan eksternal dan menguatnya permintaan domestik diperkirakan mendorong dunia usaha untuk mulai meningkatkan kapasitas produksi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,5% - 6,0% (yoy). Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tekanan terhadap inflasi diperkirakan tetap terkendali dan berada pada kisaran sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ± 1% (yoy). Dalam perspektif yang lebih panjang, perekonomian Indonesia diprakirakan tetap membaik karena didukung oleh berbagai upaya peningkatan kapasitas, produktivitas, dan efisiensi perekonomian secara berkesinambungan. Akselerasi pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan diprakirakan mencapai kisaran 6,5% – 7,5% (yoy) pada tahun 2014. Peningkatan kapasitas perekonomian tersebut mendukung upaya menurunkan inflasi ke arah sasaran inflasi jangka menengah 4% + 1% (yoy).


Kebijakan Bank Indonesia ke depan diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan sebagai prasyarat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Kebijakan moneter akan diarahkan secara konsisten dengan upaya pencapaian sasaran inflasi yang rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Kebijakan perbankan diarahkan tetap memperkuat ketahanan perbankan sekaligus meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, serta mendorong pendalaman pasar keuangan. Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendukung penciptaan stabilitas sistem keuangan serta peningkatan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Selain itu, Bank Indonesia akan semakin memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik dalam menjaga stabilitas makroekonomi maupun memperkuat momentum pemulihan ekonomi nasional.


Kinerja Perekonomian Indonesia Tahun 2009

Pada triwulan I 2009, dampak krisis ekonomi global yang mencapai puncaknya pada triwulan IV 2008 terlihat masih sangat terasa. Risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi dipicu oleh memburuknya kinerja lembaga-lembaga keuangan terkemuka, seperti Citigroup, American International Group (AIG), dan Bank of America (BoA). Kondisi tersebut mengakibatkan investor mengurangi penempatan dananya (deleveraging) di pasar kredit dan pasar modal dan menempatkan ke aset yang berisiko rendah, khususnya surat berharga pemerintah AS (risk free assets). Di samping itu, investor juga cenderung mengurangi penempatan dananya di negara-negara emerging markets. Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan keketatan likuditas di pasar uang, sementara kinerja pasar saham global terus menurun. Penempatan dana di emerging markets semakin menurun, karena diikuti oleh persepsi berlebihan atas risiko penempatan dana di Negara tersebut yang tercermin pada masih tingginya level CDS untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Perkembangan sektor keuangan global yang belum membaik, berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia dan bahkan kontraksi yang besar terjadi di negara maju.


Berbagai langkah kebijakan yang ditempuh di banyak negara secara berangsur mampu mengurangi risiko sistemik di pasar keuangan dan mulai menumbuhkan kembali kepercayaan pelaku pasar sejak triwulan II 2009. Injeksi likuiditas yang dilakukan oleh bank-bank sentral mampu meredakan keketatan pasar kredit sehingga menurunkan risiko di pasar keuangan ke tingkat sebelum terjadinya kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008. Sementara itu, langkah bankbank sentral untuk memperluas cakupan dan intensitas operasi moneter serta melakukan penyelamatan system keuangan juga telah mampu mengurangi ancaman risiko sistemik krisis keuangan global, termasuk ke negaranegara emerging markets.


Sejalan dengan pulihnya keadaan sektor keuangan global tersebut, setahap demi setahap aktivitas perekonomian dunia juga mengalami perbaikan. Gencarnya stimulus fiskal di berbagai Negara berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga yang mulai menunjukkan perbaikan. Membaiknya indikator konsumsi tersebut diikuti oleh mulai meningkatnya aktivitas industri, khususnya sector manufaktur sejak triwulan III 2009. Perbaikan akitivitas ekonomi dunia tersebut juga ditopang negara berkembang di Asia sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging markets Asia, terutama China dan India, mampu menjadi penyeimbang relative lambannya proses pemulihan ekonomi di negara maju. Dengan tren perbaikan ini, perekonomian dunia pada tahun 2009 mengalami proses pemulihan yang lebih cepat. Meskipun mengalami kontraksi sebesar 0,8%, capaian pertumbuhan ekonomi lebih baik dari berbagai perkiraan sebelumnya.


Sejalan dengan pemulihan ekonomi global yang lebih cepat, kinerja sektor eksternal Indonesia menjadi lebih baik dari prakiraan semula. Hal itu tercermin pada kinerja neraca transaksi berjalan yang mencatat surplus 10,6 miliar dolar AS. Membaiknya kinerja neraca transaksi berjalan didukung oleh membaiknya kinerja ekspor terutama dari komoditas yang berbasis sumber daya alam (SDA), seperti komoditas sektor pertambangan. Pada akhir tahun 2009 kinerja ekspor juga didukung oleh ekspor komoditas manufaktur, sejalan dengan semakin kuatnya pemulihan ekonomi negara maju terutama di AS dan Jepang. Sementara itu, impor melambat cukup signifikan terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan permintaan domestik. Kinerja neraca transaksi modal dan finansial secara keseluruhan tahun mencatat surplus 3,7 miliar dolar AS, atau lebih tinggi dari prakiraan awal. Keberhasilan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mengembalikan kepercayaan pelaku pasar berkontribusi pada mengalirnya kembali aliran modal masuk jangka pendek sejak triwulan II 2009. Perkembangan neraca transaksi berjalan serta neraca transaksi modal dan finansial tersebut secara keseluruhan mengakibatkan neraca pembayaran pada tahun 2009 mencatat surplus 12,5 miliar dolar AS, dibandingkan dengan prakiraan defisit pada awal tahun 2009. Dengan kinerja ini, posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2009 mencapai 66,1 miliar dolar AS, setara dengan 6,5 bulan impor barang dan jasa serta pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah.

Kinerja sektor keuangan Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh dinamika sistem keuangan global. Secara khusus, tekanan berat yang terjadi pada tahun 2008 masih berlanjut sampai dengan triwulan I 2009, dipicu oleh penyesuaian portofolio investasi dan meningkatnya persepsi risiko di emerging markets termasuk Indonesia. Hal itu tercermin pada masih tingginya CDS di level 1.248, jauh di atas level normal di sekitar 200, dan melebarnya yield spread antara global bond RI dan US Treasury Notes hingga sebesar 8,9%, di atas rata-rata tahun 2009 sebesar 3%. Tekanan di pasar keuangan domestik juga ditunjukkan oleh IHSG yang turun tajam ke level 1.256 (titik terendah dalam kurun waktu 3 tahun terakhir), rata-rata yield SUN yang masih tinggi hingga sempat mencapai 12,7% serta nilai tukar rupiah yang melemah tajam ke level Rp12.020 per dolar AS pada bulan Maret 2009. Melemahnya nilai tukar rupiah diikuti oleh meningkatnya counterparty risk di pasar valas, seperti tercermin pada melebarnya spread jual beli nilai tukar rupiah ke level Rp100.

Masih tingginya tekanan di pasar keuangan pada triwulan I 2009 juga terefleksi pada masih tingginya Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (Financial Stability Index - FSI) yang mencapai level 2,09, melebihi batas atas indikatif normal sebesar 2,0. Pengaruh ketidakpastian di pasar keuangan global juga berimbas ke pasar uang rupiah. Di pasar uang antar bank (PUAB), meningkatnya counterparty risk menyebabkan bank cenderung menahan likuiditasnya dan membatasi transaksi antar banknya sehingga terjadi keketatan likuiditas. Rata-rata volume transaksi di PUAB O/N masih tercatat sangat rendah sampai akhir Januari 2009, yaitu sekitar Rp6 triliun dibandingkan dengan rata-rata normalnya sekitar Rp13 triliun. Spread antara Jakarta Inter-Bank Offered Rate (Jibor) tenor 1 minggu sampai dengan 6 bulan terhadap O/N meningkat hingga mencapai 136 bps, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelum krisis yang mencapai 63 bps. Dalam kondisi masih tingginya persepsi risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan tersebut, perbankan lebih banyak menempatkan dananya di instrumen moneter bank sentral seperti SBI dan FASBI, meskipun BI Rate sudah menurun cukup agresif pada triwulan I 2009.


Sejalan dengan membaiknya pasar keuangan global sejak triwulan II 2009 serta langkah-langkah kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, kepercayaan investor terhadap pasar keuangan domestic mulai pulih. Hal itu tercermin pada menurunnya persepsi risiko dan diikuti oleh derasnya aliran masuk modal asing ke Indonesia. Indeks CDS menurun tajam ke level 160 dan yield spread antara global bond RI dan US Treasury Notes menyempit ke level 1,7. Perkembangan tersebut mendorong perbaikan kinerja pasar keuangan domestik yang tercermin pada peningkatan IHSG dan penurunan yield SUN. IHSG ditutup menguat tajam pada level 2.534 pada akhir tahun 2009 dan rata-rata yield SUN menurun hingga mencapai 10,1%. Sejalan dengan mulai menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan serta menguatnya dampak positif berbagai kebijakan pelonggaran moneter, counterparty risk di PUAB juga menurun. Penurunan risiko ini kemudian kembali meningkatkan volume transaksi dan menurunkan spread suku bunga tertinggi dan terendah. Sementara itu, ketahanan sektor perbankan semakin meningkat sejalan dengan membaiknya risiko pasar, longgarnya kondisi likuiditas di pasar uang, dan upaya konsolidasi yang
dilakukan oleh perbankan. Perkembangan positif tersebut telah memperbaiki FSI ke level 1,91 pada akhir tahun 2009.

Di pasar valas, membaiknya kondisi fundamental dan persepsi risiko mendukung nilai tukar rupiah kembali pada tren menguat. Sejak awal triwulan II 2009, nilai tukar rupiah terapresiasi 18,4% dan ditutup pada level Rp9.425 pada akhir Desember 2009. Penguatan rupiah ini juga dibarengi dengan peningkatan kembali volume perdagangan di pasar valas. Selain itu, spread jual beli nilai tukar rupiah juga kembali menurun ke level Rp10 sejalan dengan menurunnya counterparty risk di pasar valas tersebut. Secara keseluruhan tahun, level rupiah akhir tahun 2009 menguat 15,7% dibandingkan dengan level akhir tahun 2008. Meskipun dalam tren menguat, perkembangan rupiah masih mendukung daya saing produk ekspor Indonesia.

Dari sisi sektor riil, kontraksi perekonomian global yang terjadi tidak dapat dihindari memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009, khususnya di sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Sampai dengan triwulan III 2009, sektor industri pengolahan hanya tumbuh sekitar 1,5%, jauh di bawah rata-rata pertumbuhan sebelum krisis sekitar 4%. Selain itu, sektor perdagangan mengalami perlambatan yang signifikan, bahkan mengalami kontraksi pada triwulan II dan III 2009 terkait dengan penurunan kegiatan perdagangan luar negeri. Namun demikian, pada triwulan IV 2009 kedua sektor tersebut telah mengindikasikan proses pemulihan yang cukup kuat sejalan dengan perbaikan ekonomi global khususnya negara maju. Beberapa sektor yang tidak terkait dengan perkembangan eksternal mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi seperti sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sector jasa-jasa. Sektor listrik, gas dan air bersih serta sector pengangkutan dan komunikasi masing-masing tumbuh sebesar 13,78% dan 15,53%. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 didukung oleh masih kuatnya permintaan domestik khususnya konsumsi baik rumah tangga maupun pemerintah yang tumbuh masing-masing sebesar 4,85% dan 15,72%, sehingga PDB pada tahun 2009 tumbuh mencapai 4,5%. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara lain, yang sebagian besar mencatat kontraksi.

Tekanan inflasi pada tahun 2009 minimal. Inflasi IHK menurun tajam menjadi 2,78%, dibandingkan dengan 11,06% pada tahun 2008. Inflasi IHK tahun 2009 berada di bawah sasaran sebesar 4,5% ± 1%. Sementara itu, inflasi inti juga menurun tajam menjadi 4,28%, dibandingkan dengan 8,29% pada tahun 2008. Kondisi itu tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dalam memulihkan kepercayaan pasar sehingga nilai tukar rupiah berada dalam tren menguat yang pada gilirannya mendukung membaiknya ekspektasi inflasi. Perbaikan ekspektasi inflasi tersebut juga didukung oleh penurunan harga kelompok barang administered serta rendahnya inflasi di kelompok volatile food. Keberhasilan Pemerintah dalam menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi kebutuhan pokok, khususnya bahan makanan dan energi, tercermin pada inflasi kelompok volatile food pada tahun 2009 berada di bawah pola historisnya.

Sektor informal masih mampu berperan sebagai penyangga dalam menyerap tambahan angkatan kerja terutama dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat. Hal itu diindikasikan oleh angka pengangguran terbuka pada tahun 2009 sedikit menurun dari 8,1% pada Februari 2009 menjadi 7,9% pada Agustus 2009. Sementara itu, jumlah angkatan kerja yang terserap oleh sektor informal meningkat menjadi 72,7 juta jiwa dibandingkan dengan kondisi Agustus 2008 sebesar 71,4 juta jiwa.


Respons Kebijakan Bank Indonesia dan
Pemerintah

Sepanjang tahun 2009 Bank Indonesia dan Pemerintah menempuh berbagai kebijakan lanjutan untuk meredam dampak tekanan global terhadap perekonomian domestik. Sejumlah langkah kebijakan diarahkan untuk menjaga kepercayaan pelaku ekonomi baik di sector keuangan maupun sektoral, mengatasi permasalahan likuiditas di perbankan, dan memperkuat kembali momentum pertumbuhan ekonomi. Kebijakan juga ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan agar tetap mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan.

Di sektor moneter, Bank Indonesia pada tahun 2009 menerapkan pelonggaran kebijakan moneter. Dengan minimalnya risiko tekanan inflasi, Bank Indonesia memandang perlu untuk mendorong perekonomian domestik sekaligus memastikan stabilitas system keuangan tetap terjaga. Penempatan aspek stabilitas sistem keuangan dalam pertimbangan kebijakan moneter ini cukup strategis, karena Bank Indonesia memandang potensi berlanjutnya ketidakstabilan pada system keuangan berisiko memberikan tekanan lanjutan kepada stabilitas makroekonomi dan dapat menurunkan kinerja perekonomian secara keseluruhan. Pilihan arah dan strategi kebijakan ini masih sejalan dengan penerapan kerangka kerja Inflation Targeting Framework (ITF) yang diterapkan dengan lebih fleksibel dalam mengupayakan keselarasan antara pencapaian target inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun terakhir.

Dengan arah kebijakan tersebut, pada tahun 2009 Bank Indonesia menurunkan BI Rate secara terukurdengan besaran yang berbeda dalam tiga episode, dengan mempertimbangkan secara menyeluruh berbagai kondisi terkini dan prospek perekonomian ke depan. Pada episode pertama, yaitu Januari-Maret 2009 penurunan BI Rate dilakukan cukup agresif sebesar 50 bps setiap bulan sehingga pada Maret 2009 tercatat pada level 7,75%. Respons penurunan BI Rate yang agresif ditempuh dengan mempertimbangkan tekanan pada sistem keuangan yang masih tinggi dan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang masih berlanjut, sedangkan tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih belum kuat. Pada episode kedua, yaitu April-Agustus 2009 penurunan BI Rate ditetapkan dengan besaran yang lebih kecil menjadi 25 bps per bulan hingga mencapai 6,50% pada Agustus 2009. Arah kebijakan tersebut ditempuh setelah mempertimbangkan intensitas tekanan pada sistemkeuangan yang mulai menurun dan tekanan inflasi yang tetap belum kuat, sementara akselerasi pertumbuhan ekonomi belum cepat. Pada episode ketiga, yaitu September-Desember 2009 BI Rate dipertahankan di level 6,50%. Di tengah kondisi stabilitas sistem keuangan yang telah stabil, level BI Rate sebesar 6,50% ini cukup konsisten dengan upaya pencapaian sasaran inflasi tahun 2010 - 2011, namun tetap memberikan ruang gerak bagi upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan perkembangan tersebut, BI Rate pada tahun 2009 telah menurun sebesar 275 bps dibandingkan dengan Desember 2008 sebesar 9,25%.

Beberapa kebijakan operasional di pasar uang valas dan pasar uang rupiah juga ditempuh Bank Indonesia guna meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Kebijakan pendukung ini bertujuan untuk memberikan keyakinan bagi ketersediaan likuiditas jangka pendek dalam aktivitas di pasar uang, sekaligus mengoptimalkan pengelolaan likuiditas perbankan. Di pasar uang rupiah, Bank Indonesia membuka window repo untuk tenor 1 dan 3 bulan guna tetap memberikan jaminan sekaligus temporary cushion bagi ketersediaan likuiditas perbankan, masing-masing sejak pertengahan April 2009 dan September 2009. Di pasar valas, Bank Indonesia menempuh kebijakan stabilisasi nilai tukar sehingga dapat memitigasi dampak krisis likuiditas global terhadap kondisi likuiditas di pasar valas domestik. Kebijakan ini dilakukan secara terukur dengan tetap menjaga kecukupan cadangan devisa. Untuk menjamin kecukupan likuiditas valas, Bank Indonesia juga meningkatkan kerjasama bilateral dan multilateral dengan bank sentral kawasan dalam bentuk currency swap agreement. Pada Maret 2009, Bank Indonesia dan People’s Bank of China, melakukan perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA). Bank Indonesia juga melakukan penandatanganan Bilateral Swap Arrangement (BSA) dengan Bank of Japan dalam kerangka Chiang Mai Initiative sebagai bagian kerjasama keuangan Negara anggota ASEAN+3 pada April 2009. Selain itu, Bank Indonesia telah menandatangani perjanjian Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) bersama Negara anggota ASEAN+3 lainnya pada Desember 2009.

Kebijakan Bank Indonesia di bidang perbankan diarahkan untuk memperkuat daya tahan industri perbankan dengan tetap melanjutkan upaya-upaya untuk meningkatkan peran intermediasi perbankan. Pada awal tahun 2009, payung kebijakan untuk mengatasi permasalahan likuiditas perbankan juga telah ditetapkan melalui perubahan kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang No.6 tahun 2009. Undang-Undang ini merupakan dasar hukum bagi Bank Indonesia dalam memberikan kredit atau pembiayaan bagi bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, serta menyediakan fasilitas pembiayaan darurat (FPD) untuk bank yang berdampak sistemik. Terkait dengan upaya mendorong intermediasi perbankan, Bank Indonesia juga telah menurunkan bobot aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) kredit yang ditujukan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Beberapa kebijakan lain yang juga telah ditempuh Bank Indonesia untuk memperkuat ketahanan perbankan ialah melalui penerapan manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian
dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan structured product. Kebijakan perbankan tersebut juga didukung oleh kebijakan di sisi sistem pembayaran yang diarahkan untuk memperkuat kehandalan infrastruktur sistem pembayaran. Hal itu antara lain ditempuh dengan melanjutkan pengembangan sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) Generasi II sejak tahun 2008. Dengan infrastruktur yang lebih handal, aman dan efisien serta meningkatnya kemampuan mitigasi risiko dari sistem BI-RTGS akan menopang kestabilan system keuangan.

Sejalan dengan langkah di bidang moneter, Pemerintah dengan dukungan persetujuan DPR telah meningkatkan stimulus fiskal, dengan tetap menjaga prospek kesinambungan fiskal. Paket stimulus fiskal tersebut secara khusus diarahkan kepada tiga tujuan besar yaitu (i) memelihara dan atau meningkatkan daya beli masyarakat, (ii) menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha dalam menghadapi krisis global, dan (iii) menciptakan kesempatan kerja dan menyerap dampak pemutusan hubungan kerja melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Meskipun terdapat tambahan stimulus, defisit fiskal tahun 2009 masih terkendali yaitu sebesar 1,6% dari PDB. Selain itu, rasio total utang pemerintah terhadap PDB masih dalam tren menurun sehingga tercatat mencapai 29% pada akhir tahun 2009 dibandingkan dengan 33% pada akhir tahun 2008.

Pemerintah juga menempuh beberapa kebijakan sektoral guna memperkuat daya tahan sektor riil dalam perekonomian. Di bidang pertambangan, Pemerintah mengeluarkan perubahan aturan yang cukup mendasar mengenai pengusahaan dan perijinan pertambangan dengan lebih mempertimbangkan aspek kondisi geografis, daya dukung lingkungan, dan otonomi daerah. Di sector pertanian, Pemerintah mengeluarkan aturan yang menjamin ketersediaan lahan pangan dan optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya perikanan. Untuk mendukung ketersediaan infrastruktur yang memadai, Pemerintah juga memberikan peluang bagi sector swasta dalam penyediaan listrik serta kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk lebih berperan dalam penyediaan ketenagalistrikan. Dalam hal pembiayaan infrastruktur, Pemerintah pada tahun 2009 mendirikan perusahaan persero yang secara khusus dibentuk untuk membantu penanganan penyediaan dana pada berbagai proyek infrastruktur. Beberapa kebijakan sektoral lainnya juga diarahkan untuk meredam dampak krisis keuangan global.


Beberapa Tantangan Kebijakan

Di balik berbagai pencapaian positif, perkembangan perekonomian Indonesia masih menyisakan empat tantangan kebijakan utama.

Tantangan pertama berkaitan dengan dinamika perekonomian global, terutama potensi munculnya risiko ekonomi dan keuangan domestik dari dampak dari exit strategy di negara maju. Tantangan tersebut mengemuka
karena pemulihan ekonomi global yang terjadi sejak
triwulan II 2009 banyak ditopang oleh kebijakan yang
menyebabkan peningkatan yang begitu besar pada
likuiditas di sektor keuangan dan defisit fiskal di negara
maju. Lonjakan likuiditas di sektor keuangan tersebut
tidak terlepas dari kebijakan pelonggaran (quantitative
easing) yang ditempuh untuk mengurangi tekanan
di sektor keuangan serta mendorong intermediasi
perbankan dan menyelamatkan sektor-sektor
utama perekonomian. Ekses likuiditas dikhawatirkan
dapat menjadi sumber utama tekanan inflasi yang
mengharuskan sejumlah negara mulai menaikkan suku
bunga. Sementara itu, membengkaknya defisit fiskal
sebagai konsekuensi dari langkah-langkah pelonggaran
telah menimbulkan kekhawatiran akan kesinambungan
fiskal. Dalam kondisi pemulihan ekonomi global yang
masih rentan tersebut maka ketepatan waktu dan porsi
dari implementasi exit strategy akan menjadi penting
dalam menentukan arah pemulihan ekonomi global
ke depan, termasuk implikasinya pada perekonomian
Indonesia.

Antisipasi kebijakan juga perlu dilakukan berkaitan
dengan upaya mengurangi distorsi dalam perdagangan
dunia, mengingat dalam periode krisis ekonomi global
ini banyak ditempuh kebijakan yang bersifat protektif.
Sebagaimana diketahui, anjloknya perekonomian
dan permintaan global berdampak negatif pada
perkembangan ekspor dan kinerja sektor usaha di
berbagai negara. Untuk mengurangi dampak krisis
keuangan global tersebut serta menjaga agar berbagai
sektor produksi dalam negeri dapat bertahan, banyak
negara akhirnya menempuh kebijakan dalam bentuk
proteksionisme perdagangan. Salah satu perkembangan
yang patut mendapat perhatian dalam waktu dekat
ini adalah dampak penerapan ASEAN China Free Trade
Agreement (ACFTA) pada kinerja sektor eksternal.
Selain itu, di tengah masih berlangsungnya fenomena
ketidakseimbangan global, tantangan lain yang perlu
dicermati juga pada masa krisis ekonomi global saat ini,
yaitu bagaimana menyikapi upaya negara-negara di dunia
dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi global.

Dengan memperhitungkan dinamika global tersebut,
pemulihan ekonomi Indonesia ke depan dipengaruhi
tidak hanya oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
negara-negara maju, namun juga implementasi kerjasama
global dan regional. Mengingat krisis ekonomi bisa terjadi
kapan saja dan sumbernya dapat berasal dari mana
saja, Indonesia perlu memiliki kerangka strategi untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan itu, termasuk
memperkuat kerjasama internasional. Keikutsertaan
Indonesia pada G-20 di satu sisi telah memperkuat
posisi Indonesia dalam perumusan langkah-langkah
dan kebijakan-kebijakan global untuk meningkatkan
dan menjaga kestabilan ekonomi dan keuangan global.
Namun, di sisi lain, keterikatan Indonesia pada berbagai
regulasi yang bersifat internasional juga akan semakin
meningkat. Dalam kaitan tersebut, tantangan yang
dihadapi ialah bagaimana menyelaraskan peraturanperaturan
dan standar-standar domestik terhadap
peraturan-peraturan dan standar-standar yang telah
disepakati secara internasional.

Adanya kecenderungan meningkatnya proteksionisme
sebagai respons terhadap krisis tentu saja juga dapat
memengaruhi kinerja perdagangan Indonesia. Kebijakan
yang bersifat proteksionisme yang dilakukan oleh
berbagai negara untuk melindungi perekonomian dalam
negerinya diperkirakan akan memengaruhi implementasi
berbagai bentuk kerjasama perdagangan bebas. Selain
itu, potensi risiko dari perkembangan ketidakseimbangan
global ke depan masih merupakan suatu tantangan bagi
negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia.
Namun demikian, sejalan dengan perbaikan kondisi
ekonomi dan perdagangan global, meningkatnya
berbagai bentuk kerjasama internasional diharapkan
akan memberikanan dampak positif, terutama dalam
meningkatkan daya saing perekonomian domestik.

Tantangan kedua berkaitan dengan beberapa
permasalahan struktural yang dapat menghambat
efektivitas kebijakan moneter. Dalam hal tersebut
terdapat tiga permasalahan struktural yang mengemuka.
Pertama, masih besarnya peranan investasi portofolio
dalam struktur aliran modal masuk. Kuatnya peran
investasi portofolio dalam transaksi modal dan finansial
perlu dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan
risiko kepada upaya pengendalian inflasi ke depan.
Risiko itu terutama akan mengemuka pada saat
terjadi pembalikan arus modal asing yang mendorong
peningkatan ekspektasi inflasi searah dengan peningkatan
ekspektasi depresiasi nilai tukar rupiah. Kedua, masih
besarnya ekses likuiditas perbankan juga menjadi
perhatian karena berpotensi meningkatkan kompleksitas
dan beban kebijakan moneter. Kompleksitas kebijakan
moneter tersebut semakin kuat karena pada saat
bersamaan persepsi risiko juga masih cukup tinggi.
Perkembangan tersebut menyebabkan kecepatan
penurunan suku bunga kredit lebih lambat dibandingkan
dengan penurunan BI Rate. Ketiga, masih adanya
permasalahan struktural di sektor riil yang berakibat
pada masih tingginya potensi tekanan inflasi. Beberapa
aspek yang mengemuka dalam permasalahan struktural
tersebut antara lain kurang responsifnya sisi penawaran
terhadap stimulus sisi permintaan, kurang sempurnanya
struktur pasar, dan kurang efisiennya pola distribusi
barang.

Dengan tingginya dinamika serta perubahan perilaku di
sistem keuangan, yang pada gilirannya meningkatkan
kompleksitas pengelolaan moneter, formulasi
kebijakan moneter tidak cukup diarahkan pada upaya
untuk mengendalikan kestabilan harga, namun juga
memerhatikan kestabilan indikator-indikator di sektor
keuangan. Di tataran operasional, kompleksitas
permasalahan di sektor keuangan juga memberikan
implikasi pada kebijakan moneter untuk tidak hanya
bertumpu pada satu instrumen, yakni suku bunga.
Kebijakan moneter perlu didukung oleh instrumen
lainnya, termasuk instrumen kebijakan macroprudential
yang dapat digunakan ketika terjadinya potensi
ketidakstabilan sistem keuangan.

Selain itu, kebijakan makroekonomi yang kondusif
diharapkan dapat mengelola ekspektasi inflasi maupun
persepsi pasar atas kondisi perekonomian dengan
baik, sehingga mampu memperbaiki struktur aliran
modal asing yang dapat mendukung kegiatan ekonomi
secara berkesinambungan. Di antara proses tersebut,
pencermatan dan peran aktif otoritas diperlukan dalam
menopang kondisi pasar valas domestik dan memfasilitasi
penguatan infrastruktur yang mendukung pendalaman
pasar keuangan. Terkait dengan permasalahan yang
masih mengemuka di sisi penawaran maka langkah
yang perlu dikedepankan adalah penguatan koordinasi
antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Koordinasi ini
diperlukan terutama untuk memperkuat kelembagaan
ekonomi dan mempercepat pembangunan insfrastruktur
terkait dengan upaya untuk meningkatkan kapasitas
produksi dan perekonomian secara luas.


Pada akhirnya, dalam lingkungan ekonomi yang masih
memiliki ketidakpastian yang tinggi, maka formulasi
kebijakan makroekonomi sangat perlu didukung dengan
penguatan kerangka kerja kelembagaan. Penguatan
kerangka kerja kelembagaan ini diperlukan agar
pelaksanaan kebijakan makroekonomi dapat dilandaskan
pada kerangka kerja yang jelas dan dilaksanakan dengan
hati-hati (prudent). Pengalaman pascakrisis tahun
1990-an menunjukkan betapa pentingnya pengelolaan
perekonomian secara baik dan transparan, tidak hanya
untuk meredam pengaruh krisis, namun juga untuk
membawa perekonomian menapak jalan pemulihan
ekonomi. Dalam persektif yang lebih luas, aspek-aspek
akuntabilitas, transparansi, dan kemandirian perlu
dijadikan acuan dalam penerapan kerangka kerja
kebijakan makroekonomi, misalnya di sektor moneter
dan fiskal. Di sektor moneter, pengalaman empiris
di banyak negara menunjukkan bahwa penerapan
kebijakan moneter yang berbasis Flexible ITF yang
memberikan fleksibilitas dalam batas-batas tertentu
bekerja dengan cukup baik dalam merespons tekanan
gejolak ekonomi global. Demikian pula, kebijakan fiskal
yang berorientasi pada kesinambungan fiskal akan
menambah ruang fiskal (fiscal space) lebih lanjut bagi
Pemerintah untuk menyediakan stimulus perekonomian
ketika diperlukan.

Tantangan ketiga berhubungan dengan adanya potensi
penggelembungan harga aset (asset price bubbles) di
pasar keuangan yang dapat mengganggu stabilitas sistem
keuangan. Sebagaimana terlihat pada kinerja tahun 2009,
aliran masuk modal asing, yang umumnya berjangka
pendek, telah berkontribusi positif pada peningkatan kinerja pasar keuangan sejalan dengan optimisme pelaku
pasar keuangan terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Namun, peningkatan itu perlu dicermati karena
optimisme tersebut dapat terjadi secara berlebihan
dan berisiko memberikan tekanan balik terhadap pasar
keuangan. Salah satu fenomena yang patut menjadi
perhatian adalah potensi terjadinya penggelembungan
harga aset di pasar saham. Hal tersebut mengingat
terjadinya penggelembungan harga saham akan
meningkatkan kompleksitas upaya menjaga stabilitas
sistem keuangan dan stabilitas makroekonomi secara
keseluruhan. Selain itu, kenaikan harga aset yang dipicu
oleh aliran modal asing yang bersifat jangka pendek
sangat rentan terhadap koreksi apabila terjadi pembalikan
arus modal. Ketidakstabilan di pasar saham paling mudah
diamati oleh investor asing yang dapat menimbulkan
sentimen negatif secara umum di pasar modal Indonesia,
serta dapat menyebabkan kepanikan. Koreksi yang
signifikan di pasar keuangan akibat pembalikan arus
modal asing akan memengaruhi sistem perbankan dan
pergerakan nilai tukar sehingga berdampak terhadap
stabilitas sistem keuangan dan menurunkan kinerja
ekonomi. Sejalan dengan perkembangan tersebut,
pengaruh aliran modal asing perlu semakin dicermati
karena pada saat bersamaan struktur pasar keuangan
domestik masih belum terlalu dalam. Struktur itu dapat
semakin meningkatkan volatilitas dan kerentanan pasar
keuangan karena gejolak yang terjadi tidak dapat diserap
oleh pasar keuangan itu sendiri.

Implikasi kebijakan utama yang dapat ditarik adalah
perlunya dilakukan pendalaman dan pelebaran pasar
keuangan (financial deepening dan financial broadening).
Upaya ini terkait dengan pengembangan produk-produk
pasar keuangan yang ditujukan untuk melakukan
diversifikasi, sehingga tersedia instrumen-instrumen
keuangan yang dapat digunakan untuk investasi jangka
pendek hingga menengah, perlindungan nilai terhadap
transaksi keuangan yang menggunakan valuta asing,
serta pendistribusian risiko. Pengembangan produkproduk
pasar keuangan diharapkan dapat meminimalisir
dampak negatif dari derasnya aliran modal asing seiring
dengan lebih banyaknya alternatif investasi yang tersedia
di pasar keuangan. Sementara itu, produk pasar uang
jangka pendek dapat dikembangkan untuk menciptakan
kompetisi yang sehat bagi sistem keuangan Indonesia
dalam hal pembiayaan sektor riil. Dengan adanya pasar
uang jangka pendek, diharapkan terdapat alternatif
tambahan bagi penempatan dana jangka pendek yang
sekaligus dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan dalam
jangka pendek.


Pengembangan produk-produk keuangan selayaknya
diiringi dengan penerapan peraturan prudensial.
Penerapan peraturan-peraturan itu ditujukan untuk
menghindari pemanfaatan produk-produk tersebut
untuk tujuan yang spekulatif serta hanya mementingkan
perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk
itu, penerapan peraturan prudensial perlu didukung oleh
penguatan koordinasi kebijakan di bidang pengaturan dan
pengawasan sistem keuangan. Hal itu mengingat integrasi
pasar keuangan yang tinggi telah mengakibatkan semakin
kaburnya batas-batas karakteristik dan pergerakan jasa
keuangan yang ditawarkan oleh masing-masing lembaga
keuangan. Dengan demikian, sejalan dengan penguatan
koordinasi tersebut, penguatan regulasi untuk mengatur
fungsi dan sistem pengawasan sangat diperlukan agar
perubahan perilaku di dalam sistem keuangan tidak
terlalu ekstrim dan mengganggu stabilitas makroekonomi.
Penguatan regulasi perlu diarahkan pada penataan
beberapa aspek, seperti manajemen risiko likuiditas,
kecukupan modal untuk menyerap risiko usaha, dan
tindakan pencegahan sedini mungkin dalam pengawasan
bank. Selain itu, kerjasama internasional antar negara
(cross border) juga perlu semakin digalang untuk saling
tukar menukar informasi, menyelaraskan standard
aturan internasional, dan memperkuat manajemen krisis
untuk meredam perambatan risiko yang berpotensi
menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara
luas.

Secara keseluruhan, potensi risiko yang terjadi di pasar
keuangan harus diantisipasi dengan langkah sigap di
sektor keuangan. Langkah sigap untuk mengantisipasi
perkembangan sistem keuangan akan semakin
meningkatkan kebutuhan untuk melakukan pemantauan
makroprudensial (macroprudential surveillance) yang
baik serta penguatan koordinasi kebijakan di bidang
pengaturan dan pengawasan sistem keuangan. Untuk
itu peran Bank Indonesia sebagai regulator sistemik
(systemic regulator) menjadi sangat dibutuhkan. Peran
tersebut terutama terkait dengan peran Bank Indonesia
dalam menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem
keuangan. Dengan peran sebagai regulator sistemik maka
kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan dapat lebih
efektif. Sementara itu, untuk mengantisipasi potensi risiko
yang terjadi di sistem keuangan, perangkat penataan
tata cara penanganan krisis (crisis management protocol)
harus tersedia.


Tantangan terakhir berkaitan dengan upaya untuk
mengatasi permasalahan struktural di sektor riil dalam
rangka meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Dalam kaitan ini, kebijakan dan strategi ekonomi untuk
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang
secara paralel mengurangi pengangguran dan kemiskinan
secara signifikan perlu semakin dikedepankan. Satu
aspek strategis terkait dengan peningkatan kualitas
pertumbuhan ekonomi tersebut adalah peningkatan
daya saing perekonomian. Sebagaimana diketahui,
hasil survei terakhir menunjukkan bahwa daya saing
Indonesia, meskipun membaik pada tahun 2009, masih
berada di bawah beberapa negara kawasan. Faktor
yang memengaruhi rendahnya daya saing ini antara lain
infrastruktur dan energi. Permasalahan daya saing ini
secara tidak langsung akhirnya memengaruhi kinerja
sektor industri yang berada dalam tren menurun. Oleh
karena itu, permasalahan sektor industri ini perlu
dicermati karena karakter sektor ini memiliki nilai tambah
yang cukup besar dibandingkan dengan sektor lain dan
menyerap tenaga kerja cukup besar.

Ke depan, dalam situasi perekonomian domestik yang
tidak terisolasi dari pengaruh dinamika perekonomian
global, langkah penguatan peran permintaan domestik
yang terutama didukung oleh potensi SDA perlu lebih
dikedepankan dalam rangka memperkuat struktur
perekonomian secara menyeluruh. Untuk itu, upaya
untuk mendorong sektor industri sebagai motor utama
pendorong ekonomi Indonesia perlu memerhatikan
beberapa hal. Pertama, kebijakan Pemerintah harus
difokuskan untuk menghilangkan berbagai hambatan
yang selama ini menggangu pelaksanaan proyekproyek
infrastruktur penting (debottlenecking) seperti
menyederhanakan perijinan, iklim investasi yang, dan
kepastian hukum. Hal tersebut sangat berpengaruh bagi
pihak swasta yang ingin berpartisipasi dalam membiayai
proyek infrastruktur. Hal itu penting mengingat harapan
pembiayaan dari sektor swasta ini cukup besar. Dengan
menghilangkan hambatan-hambatan tersebut diharapkan
infrastruktur dapat tersedia dengan memadai sehingga
pada gilirannya akan mendorong tingginya investasi dan
daya saing di sektor industri manufaktur. Kedua, perlunya
kebijakan pengembangan industri yang berbasiskan
di luar sumber daya alam, disertai dengan upaya
peningkatan kinerja industri SDA, untuk menghasilkan
produk-produk turunan yang bernilai tambah tinggi.
Ketiga, pembangunan kebijakan industri ke depan harus
juga memerhatikan aspek regional yaitu pembangunan
industri yang memerhatikan keunggulan ekonomi
daerah. Untuk itu, Pemerintah Pusat dan Daerah harus
dapat menyusun strategi pengembangan industri yang
terintegrasi.

Dengan memerhatikan tantangan-tantangan kebijakan
di atas, perekonomian Indonesia ke depan dihadapkan
pada dinamika lingkungan yang sangat menantang, baik
di tataran global maupun domestik. Oleh karena itu,
untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan mendorong
momentum pemulihan ekonomi lebih lanjut perlu
dirumuskan agenda kebijakan ekonomi nasional yang
terintegrasi. Dari perspektif kebijakan pemerintah,
agenda kebijakan ekonomi akan dilaksanakan secara
menyeluruh di berbagai sektor ekonomi sejalan dengan
upaya untuk memperkuat daya saing perekonomian.
Agenda strategis tersebut telah dituangkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun
2009-2014. Sementara itu, kebijakan yang akan ditempuh
oleh Bank Indonesia akan diarahkan untuk menjaga
stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan,
serta mendorong fungsi intermediasi perbankan guna
mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan. Mengingat terdapatnya
keterbatasan dimensi pengaruh kebijakan Pemerintah
dan Bank Indonesia maka untuk mendukung pencapaian
tujuan-tujuan kebijakan makroekonomi yang
meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan
penguatan koordinasi kebijakan antara Pemerintah dan
Bank Indonesia.

Prospek Perekonomian

Prospek perekonomian Indonesia diperkirakan membaik.
Optimisme tersebut didukung oleh semakin kuatnya
keyakinan konsumen dan dunia usaha, menurunnya
persepsi risiko, dan kondisi global yang semakin kondusif.
Di samping itu, berbagai kebijakan yang telah ditempuh
selama ini juga memperkuat pondasi perekonomian
untuk tumbuh lebih cepat dan meningkatkan daya tahan
perekonomian terhadap berbagai gejolak. Terjaganya
stabilitas sistem keuangan dan meningkatnya prospek
perekonomian diharapkan juga akan meningkatkan
fungsi intermediasi lembaga-lembaga keuangan sehingga
mampu memobilisasi potensi dana di masyarakat secara
lebih efisien.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010
diprakirakan membaik disertai dengan stabilitas harga
yang tetap terjaga. Membaiknya kegiatan perekonomian
didukung oleh perbaikan dari sisi eksternal dengan
meningkatnya ekspor barang dan jasa, serta dari
sisi domestik berupa perbaikan kegiatan investasi.
Permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia
diprakirakan terakselerasi cukup tinggi sebagai respons
terhadap perbaikan kondisi ekonomi global. Dari sisi
domestik, dunia usaha diprakirakan melakukan ekspansi
untuk memenuhi peningkatan kegiatan ekspor serta
membaiknya permintaan domestik. Kondisi tersebut akan
mendorong kegiatan investasi untuk tumbuh lebih tinggi.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga diprakirakan
tetap kuat seiring dengan meningkatnya pendapatan
masyarakat. Membaiknya permintaan eksternal serta
domestik secara keseluruhan akan mendorong PDB
untuk tumbuh sekitar 5,5% - 6,0% pada tahun 2010.
Perbaikan pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan
pertumbuhan investasi yang tinggi diprakirakan tidak
menimbulkan tekanan yang berlebihan terhadap
perkembangan harga. Selain itu, stabilitas nilai tukar
rupiah yang terjaga dan tidak adanya kebijakan strategis
dari Pemerintah menjadi faktor pendorong lainnya bagi
perkembangan harga dalam negeri. Dengan demikian,
secara keseluruhan inflasi pada tahun 2010 diprakirakan
tetap terkendali dan berada pada kisaran sasaran sebesar
5% ± 1

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun
2010 diprakirakan masih cukup baik didukung oleh
optimisme berlanjutnya pemulihan ekonomi global.
Neraca transaksi berjalan akan kembali mencatat surplus
yang terutama didorong oleh peningkatan kinerja ekspor
barang dan jasa. Seiring dengan pemulihan perekonomian
negara maju, ekspor manufaktur diprakirakan meningkat.
Namun demikian, peningkatan ekspor komoditas
manufaktur tersebut berdampak pada percepatan
impor mengingat komoditas manufaktur mempunyai
kandungan impor yang lebih tinggi. Sementara itu,
terjaganya persepsi risiko dan membaiknya faktor
fundamental di tengah ekses likuiditas global yang
meningkat diprakirakan mendorong arus dana masuk
secara signifikan sehingga neraca transaksi modal dan
finansial diprakirakan mencatat surplus cukup besar.
Dengan perkembangan tersebut, keseluruhan NPI pada
tahun 2010 diprakirakan dapat mencatat surplus 12,5
miliar dolar AS sehingga cadangan devisa pada akhir
tahun 2010 diprakirakan sebesar 78,5 miliar dolar AS
atau setara dengan 6,4 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri Pemerintah. Sejalan dengan kinerja
NPI yang positif tersebut, nilai tukar rupiah pada tahun
2010 secara umum diprakirakan bergerak stabil dengan
kecenderungan sedikit lebih menguat dibandingkan
dengan tahun 2009.

Dalam perspektif yang lebih panjang, prakiraan
perekonomian ke depan akan banyak ditentukan oleh
kemampuan mendorong sisi penawaran sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi. Terkait hal itu, diperlukanlangkah-langkah untuk mendorong peningkatan
akumulasi kapital serta perbaikan tingkat produktivitas
dan efisiensi perekonomian secara berkesinambungan,
seperti peringkat investasi, pembangunan infrastruktur,
dan kualitas pendidikan. Dorongan dari sumbersumber
pertumbuhan ekonomi ini pada gilirannya akan
meningkatkan kapasitas perekonomian, sehingga mampu
mengimbangi dinamika permintaan domestik yang tetap
kuat. Dengan langkah-langkah tersebut, perekonomian
akan mampu dibawa pada lintasan pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi, tanpa perlu dibarengi dengan
timbulnya ketidakstabilan harga domestik. Akselerasi
pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan
diprakirakan mencapai kisaran 6,5% –7,5% pada tahun
2014. Sementara itu, tekanan inflasi diprakirakan akan
tetap terkendali hingga berada dalam sasaran inflasi
jangka menengah 4% + 1%.


Arah Kebijakan Bank Indonesia ke Depan

Memasuki fase pemulihan ekonomi paska krisis ekonomi
global, kebijakan yang akan ditempuh oleh Bank
Indonesia tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas
makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan, serta
mendorong fungsi intermediasi perbankan guna
mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan. Belajar dari pengalaman dalam
dua tahun terakhir, yang diwarnai oleh perubahan
perilaku di sektor keuangan serta krisis ekonomi global,
dapat ditarik substansi pemikiran bahwa pencapaian
stabilitas makroekonomi tidak hanya terkait dengan
stabilitas harga, namun juga berinteraksi dengan stabilitas
sistem keuangan. Dalam konteks ini, kebijakan moneter
akan diarahkan untuk menjaga inflasi yang rendah dan
stabil, dengan tetap memerhatikan kestabilan sistem
keuangan. Sebaliknya, kebijakan perbankan tidak hanya
fokus kepada upaya menopang industri perbankan, tetapi
juga mendukung stabilitas makroekonomi dan menopang
aktivitas perekonomian. Dalam perspektif yang lebih luas,
koordinasi dengan kebijakan fiskal dan kebijakan sektor
riil akan terus ditingkatkan guna menciptakan fondasi
yang kokoh bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan ke depan.

Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter Bank Indonesia tahun 2010 diarahkan
untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan 5%
± 1% dengan tetap memperhatikan stabilitas sistem
keuangan dan memfasilitasi momentum pertumbuhan
ekonomi. Dalam jangka menengah, Bank Indonesia akan
mengarahkan agar inflasi terus dalam tren yang menurun
sehingga berada pada tingkat yang rendah dan sebanding
dengan tingkat inflasi negara di kawasan regional yang
sudah berada pada kisaran 3%. Upaya untuk mencapai
tingkat inflasi yang rendah dalam jangka menengah
sangat relevan untuk menjaga daya saing perekonomian
domestik, terutama dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Dalam
konteks tersebut, BI Rate akan ditetapkan berdasarkan
asesmen terhadap upaya pencapaian sasaran inflasi
tersebut, namun tetap kondusif bagi perbaikan fungsi
intermediasi perbankan dan pemulihan perekonomian
domestik. Dalam jangka menengah panjang, level BI Rate
yang diperlukan untuk mengarahkan inflasi sebanding
dengan inflasi di kawasan regional diperkirakan akan
semakin rendah jika berbagai upaya untuk memperbaiki
kemampuan sisi penawaran dalam merespons
meningkatnya permintaan berjalan dengan baik.

Dalam tataran operasional kebijakan, Bank Indonesia
akan terus melanjutkan kebijakan pengelolaan likuiditas
di pasar uang. Di pasar uang rupiah, kebijakan tersebut
antara lain memfasilitasi penyempurnaan infrastruktur
pasar repo, mendorong perbankan untuk menempatkan
dananya pada instrumen moneter yang berjangka
lebih panjang, dan memperluas basis pelaku pasar
uang. Berbagai upaya tersebut akan dilakukan secara
bertahap dengan mempertimbangkan kondisi pasar
uang yang mengalami ekses likuditas. Di pasar valas,
kebijakan Bank Indonesia pada dasarnya diarahkan
untuk meminimalkan volatilitas nilai tukar rupiah.
Dengan strategi ini, penyesuaian nilai tukar rupiah yang
konsisten dengan perkembangan fundamentalnya dapat
berjalan secara gradual sehingga tidak menimbulkan
gejolak yang berlebihan. Disamping itu, Bank Indonesia
akan memfasilitasi berbagai upaya Pemerintah guna
meningkatkan pengelolaan devisa hasil ekspor migas dan
nonmigas.

Kebijakan Perbankan

Belajar dari pengalaman dalam menghadapi krisis
ekonomi global dua tahun terakhir, kebijakan perbankan
tahun 2010 akan ditempuh melalui empat kebijakan
utama berbasis insentif dan disinsentif guna memperkuat
ketahanan dan meningkatkan peran fungsi intermediasi
perbankan.

Pertama, peningkatan ketahanan sistem perbankan.
Kebijakan ini akan ditempuh melalui beberapa langkah
yaitu penguatan pengaturan, pemantapan system Pertama, peningkatan ketahanan sistem perbankan.
Kebijakan ini akan ditempuh melalui beberapa langkah
yaitu penguatan pengaturan, pemantapan system pengawasan bank, penataan kembali tingkat kompetisi
di industri perbankan Indonesia, serta pendalaman pasar
keuangan. Langkah penguatan pengaturan dilakukan
melalui penyesuaian peraturan permodalan untuk
tujuan memperkuat ketahanan bank terhadap risiko,
peraturan transparansi laporan keuangan, peningkatan
kualitas implementasi tata kelola organisasi yang
baik, serta peningkatan efektivitas manajemen risiko.
Kebijakan pemantapan sistem pengawasan bank akan
dicapai di antaranya dengan penyempurnaan dan
penguatan metode dan praktek pengawasan berbasis
risiko, penguatan ketentuan operasional pengawasan
bank, penyempurnaan ketentuan uji kelayakan dan
kepatutan, dan peningkatan kerjasama dengan otoritas
pengawas lembaga keuangan nonbank baik di dalam
maupun di luar negeri. Kebijakan penataan kembali
tingkat kompetisi di industri perbankan Indonesia
akan dilakukan dengan memantapkan kembali stuktur
perbankan yang menyelaraskan skala usaha dengan
kebutuhan permodalan, guna mempertinggi kemampuan
menyerap risiko usaha. Selain itu Bank Indonesia akan
memperbaiki ketentuan yang mencakup antara lain
mengenai merjer, konsolidasi, sumber dana akuisisi
bank, persyaratan badan yang dapat mengakuisisi bank,
peran pemilik perorangan/keluarga, serta persyaratan
pengembangan usaha. Kebijakan pendalaman pasar
keuangan diarahkan untuk mendorong pengembangan
produk-produk keuangan yang sekaligus dapat digunakan
bank sebagai alternatif penyaluran dan penempatan dana
secara produktif bagi sektor riil khususnya pembiayaan
infrastruktur. Dengan demikian pasar uang diharapkan
menjadi lebih likuid dan bank tidak terlalu bergantung
terhadap pendapatan dari penempatan pada instrumen
Bank Indonesia.

Kedua, peningkatan intermediasi perbankan melalui
penyempurnaan peraturan dan penyediaan infrastruktur
pendukung. Peraturan yang akan disempurnakan
di antaranya meliputi giro wajib minimum (GWM),
optimalisasi dan efisiensi kegiatan operasional bank,
kemudahan persyaratan kegiatan devisa yang dapat
mendorong pemberian kredit. Bank Indonesia juga akan
mendorong terbentuknya institusi yang memiliki fungsi
menyediakan basis data kredit per sektor dan per daerah,
guna memudahkan bank dalam mengukur risiko.


Ketiga, peningkatan peran perbankan syariah dalam
perekonomian nasional dan penguatan ketahanannya.
Kebijakan untuk perbankan syariah akan ditempuh
di antaranya dengan meningkatkan insentif untuk
mendorong peningkatan modal, memfasilitasi pengembangan unit usaha syariah dan anak
perusahaannya, serta memfasilitasi terpenuhinya
kebutuhan SDM perbankan syariah yang kompeten.

Keempat, peningkatan peran Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) dalam pembiayaan keuangan mikro dan penguatan
ketahanannya. Kebijakan tersebut akan ditempuh
di antaranya dengan, memberikan insentif untuk
mendorong peningkatan modal, dan memfasilitasi
terpenuhinya kebutuhan SDM BPR yang kompeten, serta
mempertegas posisi BPR sebagai community bank.

Dalam upaya untuk memperkuat peran perbankan
sebagai lembaga intermediasi, Bank Indonesia akan
mengarahkan perbankan untuk meningkatkan efisiensi
industri perbankan. Dalam hubungan tersebut, langkah
yang akan dilakukan adalah memberikan acuan
(benchmark) biaya dana, biaya overhead, premi risiko,
dan margin keuntungan. Dengan demikian bank dapat
mengindentifikasi sumber inefisiensi dan mencari cara
untuk meningkatkan efisiensi agar penetapan suku bunga
kredit menjadi lebih wajar. Efisiensi industri perbankan
juga akan ditingkatkan dengan melakukan pendalaman
pasar keuangan. Langkah yang ditempuh misalnya
bekerjasama dengan sejumlah instansi lain untuk
mengkaji dan mendorong instrumen pasar uang jangka
pendek yang dapat menjadi kompetitor dari kredit jangka
pendek perbankan.


Untuk memperkuat ketahanan sistem keuangan secara
keseluruhan, Bank Indonesia ingin berperan sebagai
regulator sistemik yang mengawasi kesehatan dan
stabilitas keseluruhan sistem keuangan. Kebutuhan
regulator sistemik semakin mengemuka setelah belajar
dari pengalaman krisis ekonomi global dua tahun terakhir
ini. Peran institusi mencakup pengumpulan, analisis
dan pelaporan informasi terkait interaksi signifikan di
pasar dan risiko yang ada di antara lembaga keuangan;
meneliti kemungkinan adanya lembaga keuangan yang
menyebabkan sistem keuangan kurang terproteksi dari
risiko sistemik; merancang dan mengimplementasikan
aturan; serta melakukan koordinasi dengan lembaga
regulator lainnya, termasuk otoritas fiskal, dalam
mengelola krisis-krisis sistemik yang mungkin timbul.

Kebijakan Sistem Pembayaran


Kebijakan sistem pembayaran nasional ke depan akan
tetap diarahkan untuk mendukung ketahanan sistem
keuangan dan mendorong efisiensi kegiatan ekonomi
nasional. Kebijakan tersebut ditempuh melalui tiga langkah utama, yaitu meningkatkan kehandalan dan
kemampuan mitigasi risiko sistem pembayaran nilai besar,
meningkatkan efisiensi di sisi infrastruktur pembayaran
retail, dan meningkatkan aspek keamanan pada industri
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK

Untuk meningkatkan kehandalan infrastruktur dan
kemampuan mitigasi risiko sistem pembayaran nilai besar,
Bank Indonesia akan terus mengembangkan sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Sttlement (BI-RTGS) Generasi II.
Pengembangan sistem BI-RTGS Generasi II dimaksudkan
untuk menambah fungsi sistem BI-RTGS dengan tujuan
untuk meningkatkan efisiensi di sisi penggunaan
likuiditas, efisiensi dan mitigasi risiko kebutuhan
transaksi antar negara, maupun efisiensi dalam rangka
mendukung transmisi kebijakan moneter dan fiskal.
Pengembangan sistem BI-RTGS lebih jauh dimaksudkan
untuk mempersiapkan infrastruktur sistem BI-RTGS
agar dapat memfasilitasi transaksi cross-border, yang
ke depan diperkirakan semakin berkembang karena
adanya inisiatif pengembangan perekonomian dan
pasar keuangan regional yang terintegrasi, seperti MEA
pada tahun 2015. Untuk itu, ke depan sistem BI-RTGS
tidak lagi menggunakan mekanisme murni gross to
gross settlement, tapi sudah mengkombinasikannya
dengan sistem netting, atau lebih dikenal dengan hybrid
system, sehingga diharapkan mampu meningkatkan
efisiensi penggunaan likuiditas bagi peserta dalam
sistem.

Untuk meningkatkan efisiensi di sisi infrastruktur
pembayaran retail Bank Indonesia akan membentuk
struktur kelembagaan sistem pembayaran retail di
luar Bank Indonesia dalam bentuk Self Regulatory
Organization (SRO) dan mendukung penciptaan
infrastruktur pembayaran retail dalam format National
Payment Gateway (NPG). Keberadaan SRO sebagai
mitra Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran dianggap penting agar
industri dapat mengatur aturan main sendiri dari sisi
industri, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan
umum di bidang sistem pembayaran. Hal itu karena
pada dasarnya pelaku industri yang lebih memahami
karakteristik bisnisnya, termasuk risk appetite masingmasing
industri. Sementara itu, NPG merupakan suatu
switching nasional untuk berbagai transaksi antar bank
yang dilakukan melalui front end delivery channel seperti
ATM, internet, telepon, dan mobile payment. Dalam
rangka pengembangan NPG tersebut, langkah-langkah
yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain
merumuskan strategi pengembangan, menyusun jadwal
pengembangan, dan memfasilitasi pengembangan
NPG melalui kebijakan dan regulasi yang akurat tanpa
mengabaikan kemampuan dan kondisi industri. Dengan
adanya NPG tersebut diharapkan efisiensi nasional dalam
penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia dapat
segera ditingkatkan. Dengan demikian, pelaku industri
tidak perlu mengembangkan infrastruktur sendiri-sendiri
untuk kegiatan sistem pembayaran yang dilakukannya,
namun hal tersebut dapat dilakukan dengan cara yang
lebih efisien yaitu melalui sharing infrastruktur dengan
pelaku industri lainnya.

Selain itu, Bank Indonesia akan terus meningkatkan
aspek keamanan pada industri APMK dengan
mendorong industri untuk menggunakan instrumen
chip yang saat ini dipandang paling aman dibandingkan
dengan teknologi pita magnetik. Khusus untuk kartu
kredit, sampai akhir tahun 2009 seluruh penerbit sudah
hampir menyelesaikan implementasi chip. Sedangkan
untuk kartu ATM dan Debet, pada tahun 2009 baru
dijajagi kemungkinan standarisasi instrumennya dan
terlebih dahulu akan diujicobakan di beberapa penerbit
besar sebelum diimplementasikan.

Koordinasi Kebijakan


Ke depan, Bank Indonesia akan semakin memperkuat
koordinasi kebijakan makroekonomi dengan Pemerintah.
Dalam perekonomian yang masih diliputi ketidakpastian,
keterbatasan dimensi pengaruh kebijakan makroekonomi
memberikan pelajaran mengenai betapa pentingnya
peran koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dengan
Pemerintah dalam mendukung pencapaian tujuantujuan
kebijakan makroekonomi yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Pentingnya koordinasi kebijakan berkaitan dengan
masih adanya beberapa permasalahan mendasar dalam
perekonomian yang belum dapat diatasi dengan segera,
seperti permasalahan struktural di sisi penawaran
dan pembinaan UMKM. Koordinasi kebijakan Bank
Indonesia dengan Pemerintah akan diprioritaskan pada
upaya untuk mendukung penguatan kelembagaan
ekonomi guna mendukung percepatan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi
dan kegiatan perekonomian secara luas. Disamping
koordinasi kebijakan moneter dan fiskal untuk stabilisasi
makroekonomi, sejumlah langkah koordinasi tersebut
dilakukan untuk meningkatkan hubungan investor luar
negeri dan peringkat Indonesia, dukungan intermediasi
perbankan, dan memperdalam sektor keuangan
domestik. Kajian sektor-sektor ekonomi dan komoditaskomoditas
unggulan melalui hasil survei maupun Kajian
Ekonomi Regional (KER) juga terus dilakukan oleh
Kantor-kantor Bank Indonesia di berbagai daerah. Dengan
langkah tersebut, diharapkan perilaku sisi penawaran
berada dalam pola yang cukup fleksibel dalam merespons
perkembangan sisi permintaan, sehingga dukungan
kebijakan ekonomi untuk mendorong proses pemulihan
ekonomi dapat memberikan hasil yang optimal. Lebih
lanjut, koordinasi kebijakan akan diarahkan untuk
meningkatkan pembinaan kepada pelaku UMKM sehingga
dapat meningkatkan akses UMKM pada perbankan.

Bank Indonesia juga akan secara aktif berkoordinasi
dengan Pemerintah untuk mengatasi permasalahan
kekakuan struktural dalam perekonomian yang
berpotensi mengganggu efektivitas pelaksanaan
kebijakan moneter. Untuk itu, di tingkat nasional,
Bank Indonesia dan Pemerintah telah membentuk
Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan
Pengendalian Inflasi (TPI). Di tingkat daerah, Bank
Indonesia akan lebih mengintensifkan upaya-upaya
pengendalian inflasi di daerah dengan memberdayakan
Kantor Bank Indonesia untuk bekerja lebih aktif lagi
sebagai penggerak Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID). Kerjasama dengan pemerintah daerah cukup
penting guna mengidentifikasi dan mencari solusi atas
berbagai permasalahan permasalahan struktural yang
masih ada. Hal itu mengingat faktor gejolak struktural
yang mendorong inflasi merupakan faktor endemik yang
terjadi di sebagian besar daerah. Dengan demikian, ke
depan, kinerja TPID dalam menanggulangi gangguan
inflasi di daerah akan semakin ditingkatkan kualitasnya
serta diperluas lingkup cakupannya guna mendukung
pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional yang lebih
berkualitas.